WAYANG



SEKILAS TENTANG WAYANG 
RAMAYANA DAN MAHA BARATA
( hermadi )

1. Apa sebenarnya mahabarata dan Ramayana?
Maha itu besar, sedangkan barata itu nama sebuah dinasti yg menguasai daratan India pada awal Masehi. Jadi Maha Barata artinya sebuah kisah besar ttg Dinasti Barata. Dinasti ini menguasai daratan India dengan pusat kerajaannya yg bernama Hastinapura. Cakupan wilayah kerajaannya dibatasi oleh 2 sungai besar : Gangga dan Drisadvati. Diantara ke dua sungai itu ada sungai ke3 yg membelah wilayah Hastinapura, yaitu sungai Yamuna. Sungai itulah yg membatasi wilayah yg dikuasai Kurawa dan Pendawa yg jadi inti cerita Mahabarata. Tentu saja ceritanya ttg raja-raja dan keturunannya, intrik politik dan ditambahi yg mistik mistik karena melibatkan para dewa.Sedang puncaknya perang perebutan kekuasan antar klan bangsa barata.
Lha kalau Ramayana, settingnya masih sama tetapi lebih ke India di bagian selatan. Isinya lebih romantis karena tentang perebutan wanita. Istri seorang Pangeran - Sang Rama- yg bernama Shinta direbut raja dari negeri srilanka yg bernama Rahwana. Jadi cerita ini mungkin lebih seru bagi yg suka mendengarkan lagu yg mendayu -dayu.
Jika anda ingin tahu detail peta kuno jaman mahabarata dan Ramayana, lihat saja di wikipedia. Gampang khan?

2. Mengapa muncul perbedaan versi dan beda cerita?
Ya begitulah nasib sebuah legenda. Ditangan manusia yg penuh kreatifitas dan motif penulisan yg berbeda-beda serta tentu saja kepentingan politik, banyak hal yg direka-reka dan ditambah sana dikurangi di sini. Apalagi ketika tradisi tulis masih merupakan barang langka,maka lahirlah banyak versi cerita. Di India, kisah mahabarata terbagi dlm 2 mainstream cerita : Versi India Utara dan India Selatan.
Kisah yg sdh diadaptasi menjadi cerita pedalangan jawa juga setali tiga uang. Pergilah ke Cirebon, Bandung lalu ke Solo dan Yogja. Anda akan terpana melihat betapa luarbiasa kreatifitas leluhur kita.
Tapi perlu saya utarakan, cerita wayang itu dibagi dlm 3 kelompok : cerita pokok, cerita carangan dan cerita sempalan.
Cerita pokok atau pakem itu cerita yg mengikuti buku aslinya, sedang carangan cerita yg dikarang-karang dicocok cocokan dg cerita asli. Nah nyleneh yg gak logis dengan cerita asli disebut cerita sempalan. Contohnya : kalau ada dalang yg cerita Karna bertemu Hanoman itu namanya dalang ndugal alias nakal atau dalang tipu tipu hahahaha.

3. Bagaimana cara menikmati cerita wayang ?
Wayang itu membingungkan jika bicara mengenai tokoh dan kerajaannya karena banyak sekali. Belum lagi beda versi yg membuat otak panas kepala pening dan perut lapar keroncongan. Tapi yang jelas mengasyikkan. Horeeee !!!




GAMBAR : ADEGAN WAYANG ORANG SRIWEDARI SURAKARTA

WAYANG ORANG SRIWEDARI RIWAYATMU KINI ..... !!!


SUARA tokek tiba-tiba terdengar keras di satu sudut gedung  pertunjukan  Wayang Orang
Sriwedari Surakarta. Kesenian Tradisional Wayang Orang Sriwedari ini dulu tercatat dalam sejarah  melahirkan tokoh-tokoh besar tingkat nasional dalam bidang seni budaya.
           Suara tokek melengking memecah kelengangan. Serentak 19 penonton (tak lebih, sungguh) malam itu mendongak, mencari suara si buruk rupa. Berisik sebentar, mata bosan mereka kembali terpusat ke tengah panggung, mengharap pertunjukan segera dimulai. Tapi yang ada hanya sepi. Hamparan kursi kosong pun menjadi pemandangan dominan dalam gedung berkapasitas 800 tempat duduk itu. Merasa jemu menunggu, beberapa orang kemudian meninggalkan tempat duduk. Yang bertahan pun memilih mengobrol dengan teman sebelahnya untuk mengusir kantuk. Mereka mengaku tidak memahami jalan cerita pertunjukan malam itu, yang menampilkan lakon Gandarwono Lahir. Bahkan, ketika Punakawan muncul—malam itu tanpa Bagong—pertunjukan itu tetap tak mampu menarik perhatian mereka. Dagelannya terasa garing.
Malam itu sama seperti malam-malam biasanya di gedung tersebut: drama tari tradisional itu disaksikan sedikit orang. Padahal harga tiketnya cuma Rp 3.000. Kesejukan pendingin udara dan empuknya kursi pun tak mampu menarik minat penonton. Malam Minggu masih lumayan. Penonton bisa mencapai 40 orang. "Kalau ada penonton, hampir bisa dipastikan mereka dari luar kota Solo, seperti Boyolali, Klaten, atau Wonogiri. Wong Solo sendiri sudah jarang," kata Atmo, 70 tahun, pedagang minuman di samping gedung. Aminah contohnya. Penonton dari Medan ini sama sekali tak bisa berbahasa Jawa. Ia menonton karena mumpung sedang berada di Solo. "Suami saya orang Jawa yang suka nonton wayang. Saya penasaran saja dan ingin berfoto dengan pemain," katanya.
Pamor Wayang Orang (WO) Sriwedari memang sudah menurun. Kini hanya tinggal kenangan. Dulu, cerita Atmo, yang sudah berjualan sebelum peristiwa G30S, "Saat WO Sriwedari masih jaya-jayanya dan menjadi satu-satunya tempat hiburan di Taman Sriwedari, belum talu ( gamelan mulai berbunyi ) saja sudah penuh." Talu adalah iringan gamelan pembuka pertunjukan. Perjalanan wayang orang atau wayang wong di Solo boleh dikatakan mulainya setua sejarah kota itu.
Wayang wong sebagai format seni panggung telah ada sejak awal pemecahan Mataram menjadi Kasultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, dan sebagian wilayah klan Mangkunegaran. Sejak saat itu, wayang wong berkembang dan dijadikan identitas Kasultanan Yogyakarta dan Mangkunegaran. Namun, pada masa pemerintahan Mangkunegara VI (1896-1916), terjadi krisis ekonomi yang mengakibatkan mandeknya perkembangan kesenian. Wayang wong terkena imbas dan kegiatannya dikurangi. Akibatnya, wayang wong keluar dari lingkungan istana dan tampil di depan publik. Peluang itu disambar oleh juragan keturunan Cina. Babah Gan Kam, seorang juragan batik, mementaskan wayang wong di luar istana dengan mendirikan grup wayang orang keliling pada 1895. Pertunjukan yang digelar di gedung bekas pabrik batik di Singosaren itu menyedot banyak penonton, yang umumnya keturunan Cina kaya. Setelah itu, muncul WO Sedya Wandana pimpinan Lie Sien Kwan, yang berpentas di sebelah timur Istana Mangkunegara. Ada pula kelompok yang dikelola orang Belanda bernama Reunecker. Grup ini kemudian dijual kepada Lie Wat Djien, yang berkongsi dengan badan pemerintah Mangkunegaran, dan pertunjukannya digelar di Gedung Sono Harsono, yang terletak di perempatan Pasar Pon.
Sejarah WO Sriwedari sendiri dimulai ketika Kebon Raja atau Taman Sriwedari diresmikan pada 1901. Kelompok yang pertama kali manggung adalah grup milik Babah Wang Gien, yang bergantian main dengan kelompok milik R.M. Sastratenaya. Baru sekitar tahun 1910, WO Sriwedari terbentuk. Pergelaran wayang orang saat itu selalu dipadati penonton. Mereka duduk beralaskan gedek—tikar dari anyaman bambu—dalam ruang terbuka. Untuk gedek paling depan atau kelas utama dan disebut kelas lose, harga karcisnya 50 sen, kelas I 30 sen, kelas II 20 sen, dan kelas III 15 sen. Tempat duduk paling belakang disebut kelas kambing dengan harga karcis 10 sen. Disebut kelas kambing karena tempat itu memang kandang kambing milik pemain wayang. Sudah menjadi kebiasaan pemain wayang wong keliling saat itu, mereka memelihara kambing di tobong. Siang mereka menggembala dan malam berpentas.
Pengelola Sriwedari berpindah tangan di awal kemerdekaan. Akibat kondisi politik saat itu, aset milik Kasunanan Surakarta di luar tempok istana dialihkan kepada pemerintah daerah. Termasuk Taman Sriwedari, yang di dalamnya terdapat WO Sriwedari. Ketika terjadi inflasi pada awal 1960-an, minat penonton masih tetap tinggi. Kala itu harga beras melambung dari Rp 3 menjadi Rp 150. Akibatnya, tiket dinaikkan dari Rp 1,5 menjadi Rp 25. Namun, kata Darsi Pudyarini, pemeran Srikandi, "Penonton makin membeludak. Bahkan penonton harus memesan karcis lebih dulu untuk mendapatkan tempat duduk."
Masa kejayaan WO Sriwedari itu memunculkan selebritinya sendiri. Pasangan suami-istri Rusman Hardjawibaksa (pemeran Gatotkaca) dan Darsi serta Surana Ranawibaksa (Petruk) adalah bintang-bintangnya. Begitu tenarnya mereka sehingga sering diundang Bung Karno untuk menari di Istana Negara. Rusman bahkan pernah melawat ke mancanegara. Selain ketiga tokoh itu, cerita Darsi, ada nama Wiryo Doel, yang selalu kedapuk peran Arjuna. Secara fisik, Wiryo kurang pas memerankan Arjuna karena berkulit hitam dan wajahnya dipenuhi bekas cacar. Tapi aksinya di atas panggung membuat getar penonton. Sampai akhirnya Wiryo luka parah dikeroyok pemuda suruhan seorang juragan karena istri si juragan jatuh cinta kepadanya. Sejak peristiwa itu, tokoh Arjuna diperankan perempuan. Selain mencuatkan nama-nama di atas, Sriwedari memunculkan bintang seperti Mangun Banjir, Hardjowugu, Patra Wibaksa, Suharta Purna Wibaksa, Wiryandimin, Resopawiro, Darmarini, Sitorini, dan Den Sri.
Ketenaran WO Sriwedari membuat banyak organisasi dan partai politik menggunakan pertunjukan mereka sebagai alat propaganda. Apalagi Wali Kota Surakarta saat itu, Ramelan, juga seorang tokoh komunis. Ketika Soeharto berkuasa, mereka dicap sebagai anggota Partai Komunis Indonesia. Rusman dan Surana harus ke kantor militer. Sedangkan Ranto Edi Gudel, ayah pelawak Mamiek Prakosa dan penyanyi campur sari Didi Kempot, ditahan di kantor polisi militer selama satu tahun. Belakangan, mereka malah disuruh masuk Golkar. Kondisi politik itu juga membuat juragan wayang wong keturunan Cina menjauh. Akhirnya, mereka tidak bersentuhan lagi dengan bisnis ini.
Setelah mengalami perjalanan panjang, pamor WO Sriwedari mulai luntur pada 1970-an. Dan ketika Kebun Binatang Sriwedari dipindah ke Jurug, sekitar 10 kilometer ke arah selatan, penonton makin menjauh. Bilangan Taman Raja itu akhirnya diubah pemerintah setempat menjadi kawasan bisnis hiburan modern. Berbagai upaya mengangkat pamor hiburan kesenian tradisional terus dilakukan.
Pemda Surakarta pada 1986 merekrut beberapa pemain WO Sriwedari menjadi pegawai negeri. Akibatnya, keinginan tampil di Sriwedari bukan karena kecintaan kepada seni wayang, melainkan karena mereka berharap menjadi pegawai negeri. Bahkan status pegawai negeri membuat mereka berperilaku layaknya birokrat di kantor masing-masing. Mereka baru datang pukul 19.30, mengisi absensi, menunggu dapukan (peran yang akan diberikan sutradara), berdandan, naik panggung, kemudian pulang. Imbasnya, ujar Bambang Murtiyoso, pengamat wayang, "Permainannya asal-asalan dan tidak ada kreasi yang mereka buat." Hubungan atasan dan bawahan dalam hierarki pegawai negeri juga memaksa mereka tampil tiap malam. Alasannya melestarikan budaya.
Padahal, menurut dosen Sekolah Tinggi Seni Indonesia I Wayan Sadra, tampil tiap malam itu hanya demi memenuhi tuntutan ekonomi. "Kesenian itu kodratnya mencari wilayah, mengejar penonton, bukan sebaliknya," katanya. Akibatnya, penonton kian menjauh. Regenerasi pun tidak berjalan. Rusman atau Surana hanyalah legenda masa lalu. Belum ada tokoh muda yang mampu menandingi kemampuan mereka. Bahkan, "Penghayatan karakter sudah hilang," ujar Rusini, dosen Sekolah Tinggi Seni Indonesia yang juga anak pasangan bintang WO Sriwedari, Rusman dan Darsi. Pementasan WO Sriwedari yang sudah berjalan lebih dari 100 tahun itu makin redup dan kalah moncer dengan hiburan modern.